Minggu, 16 Juli 2017

Manusia Buaya

Posted by cuap-cuap ratih on 22.10 with 1 comment



Dreet..dreet.. handphone bergetar saat menerima pesan Wa. tanpa sadar aku langsung membacanya.

“Pa kabar ra? Besok sore ada di rumah ga?”

Ini nomornya siapa? Siapa yang mengirim pesan? keningku berkerut dan otakku mencari petunjuk dari brankas ingatanku. Ga nemu! Ah bodo amat nanti kalau butuh ya Wa lagi.
Dreet.. dreet.. bergetar lagi.

“ini Dina, sorry ini nomor hp kak Ana. Paket gw abis”

Hampir saja hp di tangan terjatuh, setelah membaca dan tahu dari siapa pesan itu dikirim. “Manusia buaya,” gumamku.

Dua tahun lalu aku ditinggalkan olehnya begitu saja dengan hutang yang harus aku tanggung sendiri. Aku memang masih muda tapi beban hidupku tidaklah ringan. Aku tinggal Bersama bapak yang sakit-sakitan dan adik-adik yang masih memerlukan biaya untuk hidup dan sekolah. Kuliah? Iya itu sudah masuk kedalam dream list yang ingin aku wujudkan. Makanya aku berusaha mencari uang sendiri yang perlu ditabung untuk merealisasikan harapanku karena tidak mungkin mengharapkan bapak untuk membantuku.

Bapak mulai melemah saat ibu meninggal, mungkin karena sekarang “tulang rusuk”nya sudah tidak lengkap lagi dan aku memahaminya. Setelah lulus SMA yang aku lakukan adalah menyesal dan meratapi nasib. Tidak memiliki keahlian dan hanya punya sedikit kemampuan. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Mengapa pemerintah hanya mewajibkan sekolah 12 tahun saja yang gratis? Mengapa sekolahku selama 12 tahun tidak membawaku kekehidupan yang lebih baik? Apa aku yang salah?

“Alhamdulillah, gw sehat”
“Besok sore gw ga ada di rmh, kenapa?”

Kalau tidak aku jawab tentu dia akan terus bertanya dan itu mengganggu. Aku cukup menjawabnya singkat-singkat saja.

“Gw udah nyicilin sedikit demi sedikit alat belajar untuk terapi anak berkebutuhan khusus nih tapi tinggal sedikit lagi kurang lima juta”
“Sekalian gw mau ngomong tentang bagi hasil biar enak, bulan depan sudah mulai buka klinik kita”
“Lw kapan ada di rumah?”

Hah ni orang enteng banget ya ngomongnya, selama dua tahun dia kemana? Aku ke rumahnya ga pernah ada, ke kampusnya ga ada, nomor hpnya ga pernah aktif. Jangankan ngomongin usaha yang ingin kita bangun kasih kabar aja engga!

Pinjaman dana dari koperasi kenalan ibu harus aku bayar seorang diri. Pinjaman itulah yang awalnya untuk membeli alat-alat terapi anak berkebutuhan khusus dengan jaminan tanah 60 meter warisan dari ibu. Aku pikir usaha klinik yang akan dibangun ini bisa menjadi sumber tabungan. Dina yang kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa menggambarkan begitu besar peluang untuk mengembangkan usaha ini dan aku percaya padanya.

Dinalah yang bertugas menyediakan alat-alat terapi itu karena memang itu area yang dikuasainya. selain merancang apa saja alat yang di perlukan dan dia mengetahui siapa yang dapat memproduksi alat-alat tersebut. Setiap kali aku ingin melihat perkembangan kesiapan alat-alat tersebut dina selalu bilang bahwa dia sudah mengecek dan menyebutkan berapa persen kemajuannya. Seperti biasa aku mempercayainya.

Aku dengan pikiran polosku tidak punya prasangka buruk terhadap Dina. Dia temanku, aku tahu dimana rumahnya, bagaimana kehidupannya, kegiatan harian apa yang dilakukannya. Tidakkah aku cukup mengenalnya?

“Gw sekarang kerja, sepertinya agak sulit buat ketemuan”

Padahal emang aku malas untuk temu dengannya, aku selalu jatuh dan mengiyakan mulut manisnya. Berulang kali berjanji, dan selalu diingkari. Pernah diberikan harapan bahwa alat-alat terapi hampir selesai dan siap dikirim tapi ternyata semua itu palsu belaka. alat-alat terapi yang kita pesan di kirimkan kepada orang lain. ga masuk di akal dan dikatanya harga alat-alatnya berubah, maka dari itu alat-alat itu diberikan kepada orang yang telah melunasi sesuai dengan harga yang lebih tinggi.

“Kerja dimana sekarang?” tanyanya

Sebelum chattingan ini berlanjut aku memutuskan untuk memblokir Wa, nomor telpon dan menghapus percakapan yang ada sebelumnya. Hatiku sudah tertutup untuk terus berteman apalagi untuk bisa percaya padanya. Mau lima juta atau lima ratus ribu kekurangannya aku tidak lagi perduli.
Apa yang sudah berlalu aku sudah pasrah, mungkin bukan rezekiku. Pada akhirnya aku mengerjakan hal lain yang membuatku dapat membayar hutang dan sekarang hidupku baik-baik saja meskipun usaha klinik tidak terjadi.


Seperti saat buaya akan dipindahkan lokasi tinggalnya, yang harus dilakukan adalah menutup mulutnya agar tidak terbuka dan mencelakakan orang yang memindahkannya. Inilah yang kulakukan sekarang, menutup mulut Dina agar tidak terbuka dan melukai aku lagi. Bye Dina…

1 komentar:

  1. Manusia buaya, saya pikir td bakal ada cerita-cerita mistis dan sejenisnya. Hahha... Keren idenya.
    Manusia kalau jd buaya lbh bahaya, ya mba.

    Sedikit catatan: Penggunaan kata ke tidak disatukan dengan kata berikutnya.
    Ke dalam, ke kehidupan.

    👏👏👏

    BalasHapus