Selasa, 09 Mei 2017

Bekal Menjadi Seorang Ibu

Posted by cuap-cuap ratih on 17.08 with 7 comments
     Dalam hidup ini, banyak dari sikap saya yang sangat saya sesali sekarang salah satunya seperti memasukkan anak lelaki saya ke sekolah pada usianya masih sangat muda. Hanya Karena kakak ipar kebetulan memiliki taman kanak-kanak dan letaknya dekat dengan rumah, saya tidak berpikir jauh dan memasukkan anak untuk sekolah di usianya 3,4 tahun. Saya melihat dia menikmati pergi sekolah dan bermain disana. Sayapun merasa tenang karena melihat anak saya senang. Ditambah saya merasa beban saya sedikit berkurang Karena selama dia sekolah saya dapat membereskan rumah. Saya memang “full timer mother” tanpa ada asisten rumah tangga.

     Tidak terasa belajar di taman kanak-kanak itu selama dua tahun lamanya. Saya masih belum melihat hal yang ganjil. Hanya saja hampir setiap hari gurunya akan datang ke rumah membawakan tas dan sepatunya yang tertinggal di sekolah, entah sengaja atau memang Karena lupa. Padahal sudah sering kali dinasehati untuk membawanya bila sudah pulang sekolah. Saya pun tidak ambil pusing Karena memang merasa hal itu wajar saja kan dia memang masih kecil.

      Setelah dua tahun itu, berarti anak saya berumur 5,4 tahun dan dia tidak ingin belajar lagi di taman kanak-kanak, dia ingin melanjutkan sekolah ke sekolah dasar bersama sepupunya dan akhirnya sayapun memasukkannya ke sekolah dasar. Dalam hal akademik dia dapat mengikuti dengan baik, sudah bisa membaca dan menulis namun untuk urusan kemandirian saya harus banyak membantunya. Sering ketinggalan buku, alat-alat tulis, PR, dan tugas-tugas lainnya. Mulailah saya melihat dia berubah dari awalnya dia senang bila pergi belajar di taman kanak-kanak, pada saat bersekolah di Sekolah dasar timbullah sikap acuh tak acuhnya. Badannya saja tetap bersekolah namun tidak dengan alam pikirannya sehingga membuat saya sering memarahinya karena tidak memperhatikan pelajaran dan apa yang disampaikan gurunya. Saya merasa anak saya itu tidak bertanggung jawab dengan sekolahnya.

     Saat itu saya tidak menyadari tekanan yang saya beri kepadanya dan itu sangat berdampak besar, bahkan yang dari usia 3 tahun dia sudah tidak lagi mengompol tiba-tiba dia mengompol hampir setiap hari! Rasa marah dan malu membuat saya bahkan menghukum dia untuk mencuci sendiri bajunya yang basah, pernah juga menariknya dari tempat tidur memandikannya pada tengah malam dengan cara dan kata-kata kasar sebagai dalih menasehati. Kalau mengingat itu selalu ingin menangis, membayangkan betapa hatinya terluka dengan perlakuaan dan apa yang telah saya ucapkan.

     Tidak berhenti disitu, saat saya masih banyak membantu, nilai-nilainya masih bisa dipertahankan. Sampai usia 9 th, saya merasa dia semakin besar dan saya mengurangi untuk selalu membantunya. Ternyata nilai-nilai akademiknya terjun bebas ke dasar yang paling bawah dan dia masih terus mengompol. Dalam kegalau saya menceritakan perkembangan anak kepada suami.

“Gimana tuh ya yah? Mi harus berbuat apa?”
“makanya jangan dimasukin sekolah buru-buru, kan dah ayah bilangin”
“Iya tapi kan anaknya yang mau”
“Kalau anaknya mau racun trus umi kasih juga?”

     Bukan solusi yang saya terima tapi seperti tamparan yang keras diwajah, melukai hati dan harga diri saya sepenuhnya sebagai seorang ibu melihat perkembangan anak yang semakin mundur, saya merasa gagal sebagai ibu. Ternyata saya juga tidak patuh dan mendengarkan apa perkataan suami, saya juga merasa gagal sebagai istri.

     Saya salah arah dalam membimbing dan mendidik anak. Saya seringkali membandingkannya dengan anak lain, bukannya melatihnya berkompetisi dengan dirinya sendiri. Meningkatkan kemampuannya dari waktu ke waktu membuatnya lebih baik dari kemampuan sebelumnya. Tapi hanya Karena pengakuan orang banyak akan stereotip terhadap kepintaran dan kesuksesan, membuat saya lupa melihat kemampuan dan potensi anak sendiri. Saya merasa bangga bila anak saya bisa membaca dan menulis sedini mungkin, tapi tidak masalah bila makan harus selalu disuapi, pakai baju harus dipakaikan, merapikan buku-buku yang harus dibawanya ke sekolah. Harusnya saya melatih kemandiriannya dulu sebelum menjejalkannya dengan pelajaran di sekolah, melatih akhlaknya sehingga dia dapat kuat menjalani kesehariannya.
     
     Tapi hidup tetap harus berjalankan? Saya sungguh-sungguh menjadikannya pelajaran agar tidak terulang lagi. Benar adanya bila setiap anak akan berbeda bahkan dengan saudara kandungnya sendiri. Kalau sepupunya bisa menulis membaca di usia 4 tahun, anak kita bisa berhasil di usia 6 tahun, memang kenapa? Temannya punya prestasi dengan banyak menang di setiap cerdas cermat, anak kita masuk sepuluh besar di kelasnya pun tidak ataupun di peringkat paling buncit, lalu kenapa? Dulu saya merasa sebagai ibu yang berhasil itu bila anak saya pintar juga berprestasi. Padahal setiap anak itu sudah Allah bekali dengan kemampuannya masing-masing, dan tidak sama.

      Ibu adalah sekolah pertama dalam kehidupan anaknya. Bagaimana bila seorang ibu justru tidak melihat kepada anaknya sendiri dan membandingkannya dengan anak orang lain. Siapa subjek sesungguhnya dalam ruang lingkup Pendidikan yang dilakukannya. Sayangnya hal ini saya sadari setelah anak pertama saya sudah merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Nasi sudah jadi bubur. Sekarang saya mencoba ikhlas menerima segala kondisi anak saya yang mungkin hal itu ada andil dari perlakuan saya dulu. Kemajuan dan perkembangannya sedikit demi sedikit.

      Banyak belajar ilmu-ilmu parenting dari berbagai sumber. Saya berpikir harusnya saya memiliki kedua hal ini jauh, mungkin sebelum saya menikah dan memiliki anak, sehingga bila saatnya tiba saya sudah siap, secara fisik dan mental sadar posisi dan tugas sebagai ibu. Tetap belajar sampai sekarang, Karena anak bertambah umur berbeda pula cara memperlakukannya apalagi sekarang juga bertambah jumlah anaknya. Sebenarnya menjadi ibu, buat saya adalah menjadi pembelajar seumur hidup terutama belajar menjadi ikhlas.


7 komentar:

  1. Iya mamah sekolah pertama juga bagiku . Love u mamah

    BalasHapus
  2. Aduhh sedihnya 😭😭 makasih mak ilmunya.

    BalasHapus
  3. Terima kasih sudah menulis dan share cerita ini bun, jadi pembelajaran utk saya dan pembaca lainnya ... sangat bermanfaat😊

    BalasHapus
  4. Ini tulisan keren, jujur, dan banyak ilmunya. Reminder buat saya, mbak

    BalasHapus
  5. Ini tulisan keren, jujur, dan banyak ilmunya. Reminder buat saya, mbak

    BalasHapus
  6. Terima kasiiih banyak, Umii sudah tulis iniii

    BalasHapus