Tidak banyak teman yang benar-benar saya tahu mengenai kehidupan
pribadinya. Namanya juga kehidupan pribadi tidak semua juga ingin orang lain
mengetahuinya. Namun pagi ini salah satu teman lama yang sampai sekarang masih
suka bertukar kabar menghubungi melalui salah satu media sosial, hanya ingin menjadikan
saya teman ceritanya. Dia mengabarkan
bahwa suaminya akan menikah lagi dua bulan kedepan. Dan dengan hati-hati saya
bertanya apakah di poligami atau di cerai? Ternyata mereka baru saja bercerai
dan surat-suratnya pun sudah dikeluarkan oleh pengadilan agama.
Mungkin perpisahan itu sesuatu yang sudah tidak bisa dihindari lagi dan
dapat terjadi kepada siapapun. Kehidupan berumah tangga yang dijalani bersama
terkadang tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Satu pihak sudah
berupaya dan berusaha menyesuaikan diri namun belum tentu pihak pasangan
memiliki niat dan pemikiran yang sama bukan? Dan tidak bisa dipaksakan.
Saya jadi kepikiran apa yang akan dilakukannya setelah bercerai. sudah
tentu perceraian bukanlah sesuatu yang direncanakan, karena awal menikahpun
niatnya adalah niat baik untuk hidup bersama berbagi kasih dan sayang.
Yang saya tahu dia seorang ibu rumah tangga yang sebagian waktunya
mengurus ke empat anak yang kesemuanya perempuan dengan usia anak paling besar
13 tahun dan yang paling kecil 4 tahun. Dan ternyata kegalauan mengenai nafkahlah
yang lebih mendominasi perasaan dan pikirannya saat ini. Bagaimana dengan
kebutuhan anak-anak yang masih kecil-kecil, biaya sekolah dan sebagainya.
Bagi yang mengalami, untuk menghadapi perceraian saja merupakan hal yang sudah
cukup berat terutama saat menjelaskannya pada anak-anak. Bahwa kehidupan
pernikahan orang tuanya sudah berakhir, ayahnya akan menikah lagi dan mungkin
akan sangat jarang melihat ayahnya di masa yang akan datang. Belum lagi
pandangan lingkungan yang mungkin akan ada banyak gunjingan dan pembicaraan.
Hidup sendiri sebagai janda membesarkan empat orang anak. Apalagi ditambah
urusan nafkah ini bukan hal yang mudah. Apa boleh buat semua itu harus tetap
dilalui karena bagaimanapun hidup harus move
on.
Yang harus diketahui adalah ternyata tetap menjadi kewajiban ayah atau
mantan suami menafkahkan anak-anaknya. Hey.. tidak ada yang namanya mantan
anak, mantan ayah atau mantan ibu. Mereka dihubungkan dengan darah yang kental
dan merupakan dosa bila seorang ayah menyia-nyiakan orang-orang yang wajib dia
nafkahi. Nafkah yang cukup tentunya, bukan hanya memberi untuk menggugurkan
kewajiban. Setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan. Juga nafkah kepada istri
dalam 3 bulan masa iddahnya. Jadi ini merupakan hal penting yang harus
dibicarakan. Hak seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya untuk memintakan
kewajiban mantan suaminya itu terhadap anak-anak, bukan berarti wanita itu
materialistis tapi dia realistis dan faham haknya.
Seorang ibu rumah tangga yang tidak
pernah terlibat langsung untuk mencari nafkah seperti teman saya itu tentunya
bingung apa yang akan dilakukannya setelah perceraian. Peristiwa ini memberikan
banyak pelajaran juga buat saya. Banyak yang harus dipikirkan oleh seorang single parent. Ada masa 3 bulan sebelum
teman saya benar-benar harus mandiri secara pribadi dan ekonomi.
Tidak ada keluarga yang menginginkan
terjadinya perceraian. Namun apakah kita juga harus tetap siap dari awal
pernikahan bila peristiwa itu terjadi? Itu yang ada dalam benak saya. Bukankah
kita harus selalu optimis dengan kehidupan perkawinan kita agar terus terjaga
hingga akhir dan dipisahkan oleh maut.
Saat berkesepakatan mengenai perceraian, mantan suami berjanji untuk
terus menafkahi anak-anak. Namun apa yang akan terjadi bila ternyata janji
tinggallah janji? Apa yang bisa dilakukannya kemudian? Tentu saja dia harus
bekerja, tapi bagaimana dengan anak-anaknya yang masih kecil yang membutuhkan
pengawasannya sedangkan dia pun tidak bisa mengandalkan keluarga besarnya
seperti orang tuanya yang sudah udzur untuk membantu menjaga. Tidak memiliki
sanak saudara yang bisa dimintai tolong, karena mereka juga memiliki kondisinya
masing-masing. Tidak mampu membayar pengasuh yang sedangkan dia sendiri
kesulitan ekonomi. Bagaimana bila hal-hal itu semua terjadi? Apa saya terlalu membayangkan hal yang buruk? well..
selalu prepared for the worst alias kondisi yang paling
pahit.
beberapa hal yang dapat diambil sebagai hikmahnya, pertama perceraian
adalah masa lalu, hidup harus terus berjalan, cukup menjadikan pemicu
perceraian sebagai pelajaran hingga kedepannya tidak terulang. Setelah
perceraian merupakan titik kehidupan yang baru. Mungkin sebelumnya kehidupan
pernikahan tidak memberikan kebahagian yang didambakan, saatnya mencari
kebahagian yang baru, kehidupan pernikahan yang baru. Kenapa tidak? hak azasi
manusia untuk merasa bahagia bukan?
Kedua terkait dengan anak. Mereka adalah korban, genggamlah tangan mereka
jadikan mereka kekuatan dan menjadikan mereka kuat. Berdamai dengan mantan
untuk urusan memberikan kasih sayang. Kewajiban orang tuanya untuk tetap
menjaga dan mengasuh sehingga mereka mampu berdiri sendiri, walaupun orang tua
tidak lagi bersama.
Ketiga bahwa ibu rumah tangga itu harus pintar dan tangguh dalam arti
kata pintar akalnya juga pintar menata hatinya. Jadi berpendidikan tinggi itu
perlu. Apalagi bila memiliki Iketrampilan yang dapat dijadikan sumber
pendapatan bila memang dibutuhkan. ibu rumah tangga dapat menghadapi segala
macam permasalahan. Bahwa ibu rumah tangga memiliki keyakinan dapat berdiri
diatas kakinya sendiri memberikan izzah atau penghargaan untuk diri sendiri,
Memberinya kekuatan untuk tetap tegar demi anak-anaknya. Berpikiran positif dan
mampu bangkit dari masalah yang menerpa. Sehingga kesedihan tidak membuatnya
berlarut meratapi nasib dan menyesal berkepanjangan.
Keempat, hal yang ada di benak saya ini mungkin bisa menjadi solusi,
bahwa ibu rumah tangga minimal memiliki tabungan. Lebih baik lagi bila
tabungannya itu adalah asset yang produktif. Tanah, bangunan atau mobil yang
dapat disewakan merupakan salah satu contoh asset yang produktif. Tidak ada
ruginya memiliki tabungan. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tidak dapat
menambah penghasilan. Ibu rumah tangga mungkin "tidak bekerja" karena asetnya
yang bekerja untuknya. Mungkin itulah yang harus dipersiapkan dari awal
pernikahan. Sedikit ataupun banyak tabungan itu tidak ada standar khusus, yang
terpenting sudah dipersiapkan. Seorang ibu minimal punya sedikit pengetahuan untuk mengelola keuangan dalam rumah tangganya.
Namun bila kondisi diatas belum dipersiapkan karena jangankan untuk
memiliki tabungan, dalam kehidupan pernikahan yang lalu saja, uang yang ada
selalu habis untuk segala kebutuhan. Atau mungkin inilah yang menjadi dasar
perceraian maka yang perlu dilakukan adalah banyak berdoa. Selalu ada Allah
yang dapat menjadi tempat bersandar. Jalan keluarnya mungkin dari arah yang
tidak pernah diduga sebelumnya. Itulah kuasa Allah bila Ia katakan terjadi maka
terjadilah. Berprasangka baik akan membawa aura kebaikan dan pikiran yang positif.
Percayalah Allah mengabulkan segala doa hambanya. Tetap berikhtiar atau
berusaha dengan kondisi yang ada. Melakukan pekerjaan yang halal, memulai usaha
kecil-kecilan di rumah lebih baik daripada hanya berpaku tangan dan merenungi
nasib yang tidak akan berubah bila tidak diusahakan untuk berubah.
Saya berharap, support yang saya berikan dapat menambahan kekuatan
untuknya, walau hanya sedikit meringankan kegelisahan dan meringankan beban
dihatinya. Hakikat teman bagi saya adalah teman yang memberikan manfaat atau
teman yang memberikan pelajaran dan saya ingin menjadi teman yang memberikan
manfaat walau hanya sedikit. Saya bangga terhadap teman saya itu meski harus
mengambil keputusan yang sulit tapi dia tidak menghindari dan lari dari
kenyataan. Ditengah ketidakberdayaannya dia tetap berusaha melakukan yang
terbaik untuk anak-anaknya yaitu tetap berpikiran positif dan kuat berpegang
teguh kepada keyakinan semua akan berlalu dan akan berjalan dengan baik. Demikianlah.
Menarik sekali tulisannya kak, semoga dimudahkan segala urusan . Aamiin ☺
BalasHapusAamiin.. semoga bisa diambil hikmahnya juga :)
BalasHapusAamiin.. semoga bisa diambil hikmahnya juga :)
BalasHapus