Dalam hidup ini, banyak dari
sikap saya yang sangat saya sesali sekarang salah satunya seperti memasukkan
anak lelaki saya ke sekolah pada usianya masih sangat muda. Hanya Karena kakak
ipar kebetulan memiliki taman kanak-kanak dan letaknya dekat dengan rumah, saya
tidak berpikir jauh dan memasukkan anak untuk sekolah di usianya 3,4 tahun.
Saya melihat dia menikmati pergi sekolah dan bermain disana. Sayapun merasa
tenang karena melihat anak saya senang. Ditambah saya merasa beban saya sedikit
berkurang Karena selama dia sekolah saya dapat membereskan rumah. Saya memang
“full timer mother” tanpa ada asisten rumah tangga.
Tidak terasa belajar di taman kanak-kanak itu
selama dua tahun lamanya. Saya masih belum melihat hal yang ganjil. Hanya saja
hampir setiap hari gurunya akan datang ke rumah membawakan tas dan sepatunya
yang tertinggal di sekolah, entah sengaja atau memang Karena lupa. Padahal
sudah sering kali dinasehati untuk membawanya bila sudah pulang sekolah. Saya
pun tidak ambil pusing Karena memang merasa hal itu wajar saja kan dia memang
masih kecil.
Setelah dua tahun itu, berarti anak saya
berumur 5,4 tahun dan dia tidak ingin belajar lagi di taman kanak-kanak, dia
ingin melanjutkan sekolah ke sekolah dasar bersama sepupunya dan akhirnya
sayapun memasukkannya ke sekolah dasar. Dalam hal akademik dia dapat mengikuti
dengan baik, sudah bisa membaca dan menulis namun untuk urusan kemandirian saya
harus banyak membantunya. Sering ketinggalan buku, alat-alat tulis, PR, dan
tugas-tugas lainnya. Mulailah saya melihat dia berubah dari awalnya dia senang
bila pergi belajar di taman kanak-kanak, pada saat bersekolah di Sekolah dasar
timbullah sikap acuh tak acuhnya. Badannya saja tetap bersekolah namun tidak
dengan alam pikirannya sehingga membuat saya sering memarahinya karena tidak
memperhatikan pelajaran dan apa yang disampaikan gurunya. Saya merasa anak saya
itu tidak bertanggung jawab dengan sekolahnya.
Saat itu saya tidak menyadari tekanan yang
saya beri kepadanya dan itu sangat berdampak besar, bahkan yang dari usia 3
tahun dia sudah tidak lagi mengompol tiba-tiba dia mengompol hampir setiap
hari! Rasa marah dan malu membuat saya bahkan menghukum dia untuk mencuci
sendiri bajunya yang basah, pernah juga menariknya dari tempat tidur
memandikannya pada tengah malam dengan cara dan kata-kata kasar sebagai dalih
menasehati. Kalau mengingat itu selalu ingin menangis, membayangkan betapa
hatinya terluka dengan perlakuaan dan apa yang telah saya ucapkan.
Tidak berhenti disitu, saat saya masih banyak
membantu, nilai-nilainya masih bisa dipertahankan. Sampai usia 9 th, saya
merasa dia semakin besar dan saya mengurangi untuk selalu membantunya. Ternyata
nilai-nilai akademiknya terjun bebas ke dasar yang paling bawah dan dia masih
terus mengompol. Dalam kegalau saya menceritakan perkembangan anak kepada
suami.
“Gimana tuh ya yah? Mi harus berbuat apa?”
“makanya jangan dimasukin sekolah buru-buru, kan dah ayah bilangin”
“Iya tapi kan anaknya yang mau”
“Kalau anaknya mau racun trus umi kasih juga?”
Bukan solusi yang saya terima
tapi seperti tamparan yang keras diwajah, melukai hati dan harga diri saya
sepenuhnya sebagai seorang ibu melihat perkembangan anak yang semakin mundur,
saya merasa gagal sebagai ibu. Ternyata saya juga tidak patuh dan mendengarkan
apa perkataan suami, saya juga merasa gagal sebagai istri.
Saya salah arah dalam membimbing dan mendidik
anak. Saya seringkali membandingkannya dengan anak lain, bukannya melatihnya
berkompetisi dengan dirinya sendiri. Meningkatkan kemampuannya dari waktu ke
waktu membuatnya lebih baik dari kemampuan sebelumnya. Tapi hanya Karena
pengakuan orang banyak akan stereotip terhadap kepintaran dan kesuksesan,
membuat saya lupa melihat kemampuan dan potensi anak sendiri. Saya merasa
bangga bila anak saya bisa membaca dan menulis sedini mungkin, tapi tidak
masalah bila makan harus selalu disuapi, pakai baju harus dipakaikan, merapikan
buku-buku yang harus dibawanya ke sekolah. Harusnya saya melatih kemandiriannya
dulu sebelum menjejalkannya dengan pelajaran di sekolah, melatih akhlaknya sehingga
dia dapat kuat menjalani kesehariannya.
Tapi hidup tetap harus berjalankan? Saya
sungguh-sungguh menjadikannya pelajaran agar tidak terulang lagi. Benar adanya
bila setiap anak akan berbeda bahkan dengan saudara kandungnya sendiri. Kalau
sepupunya bisa menulis membaca di usia 4 tahun, anak kita bisa berhasil di usia
6 tahun, memang kenapa? Temannya punya prestasi dengan banyak menang di setiap
cerdas cermat, anak kita masuk sepuluh besar di kelasnya pun tidak ataupun di
peringkat paling buncit, lalu kenapa? Dulu saya merasa sebagai ibu yang
berhasil itu bila anak saya pintar juga berprestasi. Padahal setiap anak itu
sudah Allah bekali dengan kemampuannya masing-masing, dan tidak sama.
Ibu adalah sekolah pertama dalam kehidupan
anaknya. Bagaimana bila seorang ibu justru tidak melihat kepada anaknya sendiri
dan membandingkannya dengan anak orang lain. Siapa subjek sesungguhnya dalam
ruang lingkup Pendidikan yang dilakukannya. Sayangnya hal ini saya sadari
setelah anak pertama saya sudah merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan.
Nasi sudah jadi bubur. Sekarang saya mencoba ikhlas menerima segala kondisi
anak saya yang mungkin hal itu ada andil dari perlakuan saya dulu. Kemajuan dan
perkembangannya sedikit demi sedikit.
Banyak belajar ilmu-ilmu parenting dari
berbagai sumber. Saya berpikir harusnya saya memiliki kedua hal ini jauh,
mungkin sebelum saya menikah dan memiliki anak, sehingga bila saatnya tiba saya
sudah siap, secara fisik dan mental sadar posisi dan tugas sebagai ibu. Tetap
belajar sampai sekarang, Karena anak bertambah umur berbeda pula cara
memperlakukannya apalagi sekarang juga bertambah jumlah anaknya. Sebenarnya
menjadi ibu, buat saya adalah menjadi pembelajar seumur hidup terutama belajar
menjadi ikhlas.