Nasha meneguk kembali air minumnya.
Hari yang panas seperti telah mengambil sebagian cairan dalam tubuhnya yang
kurus terbalut kulit. Dia meminum lebih dari tiga tegukan dan langsung
mengkosongkan botol minum yang tinggal seperempat isi. Matanya kosong menatap
serius padahal pikirannya sudah melayang entah kemana.
”Ini sudah hari ke enam puluh tiga ya?”tanyanya dalam
hati. Dia meletakkan pulpen yang sejak tadi dipegangnya. Lalu Lalang orang yang
ada diperpustakaan itu tidak mengganggu kebengongannya. Seakan tidak perduli
apa yang terjadi di sekitar, Nasha hanya dipenuhi oleh pikirannya sendiri.
Dia buka lagi pesan yang dia temukan di dalam lokernya.
Tertulis dengan huruf Kapital tebal
“WAKTUMU HANYA
100 HARI TERHITUNG HARI INI”
Hanya itu tidak ada nama yang di tuju dan tidak ada
nama pengirimnya.
Mbok,
kalau mau kirim pesan ya lewat WA
kek, SMS kek, Messager kek. Ni orang dari jaman bahela kali ya?
Ooh GOD, ini apa? Dead
noted?
Nagih hutang? Perasaan ga punya hutang.
Siapa sih? Serius?
Gini hari ada aja orang yang iseng ngelakuin hal macam
ini. Gak mau di gubris nanti penting, digubris tau-tau ga penting. Otak Nasha
sibuk berpikir.
Dari perpustakaan, ke kelas, balik lagi ke perpustakaan
dan berakhir di kantin. Nasha hanya bisa menghela nafasnya. Semangkok baksopun habis
menjadi pelampiasan rasa jengkelnya karena tidak ada satu ide pun yang nyangkut
dalam gambaran otaknya siapa yang menulis pesan itu dan untuk apa?
“Tungguin aja kali ya sampai 100 hari kita liat aja
apa yang akan terjadi,” Nasha sudah pasrah dan berencana untuk menanti hari ke seratus.
Apa yang akan terjadi maka biarlah terjadi pikirnya.
“Papi, besok ketemu ya aku mau ngomong,” berbicara
dengan seseorang di telpon. Kemudian dia mengangguk beberapa kali dan
mengucapkan salam sebelum menutup terlponnya.
***
“Papi,” panggil Nasha kepada lelaki tua berbaju putih yang
sedang menulis sesuatu di mejanya.
“Masuk sha,” lelaki tua itu beranjak dari kursi
meninggalkan aktivitas menulisnya dan berjalan kearah Nasha. Mempersilakannya untuk
duduk di sofa yang berada di sudut ruangan dekat jendela. Ruangan itu tidak
besar, di seberang pintu langsung berhadapan dengan meja kursi kerja dan sofa
disebelahnya sudah cukup penuh mengisi ruangan itu.
“Sehat sha?” tanya lelaki tua yang dipanggil papi oleh
Nasha.
“Aku sehat pi,”
Diserahkan kertas pesan yang ditemukan dalam lokernya.
Papi menerima lalu membacanya dan mengangguk tanda mengerti.
“Apa yang kamu pikirkan sha?”
Nasha mengangkat bahunya sesaat dan menurunkan sembari
menghela nafas. Entah masalah apa yang akan terjadi pada dirinya. Itulah yang
ada dalam pikirannya tapi tidak ia utarakan.
“hari ini sudah hari ke enampuluh empat, pi”
“Tidak perlu panik atau cemas dulu sha,” meski tidak
diucapkan papi tahu apa yang dirasakan oleh Nasha, tangan nasha tidak lepas
dari pada bagian belakang lehernya. Hal itu menunjukkan kecemasan yang cukup
intens.
“Lebih baik kamu tenang dulu,” disuruh papi untuk
tenang, Nasha malah merasakan kantuk. Nasha dan papi tidak mengucapkan sepatah
kata pun untuk beberapa saat. Lantunan musik instrumentalia yang telah dipasang
papi sebelum Nasha datang semakin membuat matanya berat untuk lama-lama dibuka.
Kalau tidak ingat ini di kantor papi, pasti Nasha sudah rebahan sambil memeluk
bantal. Entah mengapa disini Nasha merasa hati dan kepalanya bisa merasa tenang
setelah beberapa hari tidak bisa tidur dengan benar.
“Papi!” tetiba Nasha bangun dari sofa.
Papi sedikit terkejut, karena tiba-tiba Nasha bergerak
dan langsung berdiri, berjalan mondar-mandir di hadapannya.
“Duduk sini, sha,” dengan sabar papi mempersilahkan
Nasha untuk duduk kembali di sofa.
Nasha hanya melihat kearah papi tanpa kata, tapi
mengikuti intruksinya untuk duduk.
“Yang menulis ini siapa?” coba diserahkan kertas pesan
itu kembali kepada Nasha.
Nasha hanya melirik kertas itu.
“Lho kenapa jadi tanya aku?” jawab Nasha.
“Emang papi ga boleh tanya ya?” canda papi sambil
tersenyum.
Nasha membuang muka dan mendengus tidak perduli.
“Pesan ini buat siapa ya?” papi pura-pura bertanya
kepada dirinya sendiri, meski maksudnya bukan itu. Kertas pesan itu
dibolak-baliknya seakan-akan itu kertas yang sangat menarik, yang perlu
diteliti dan diperhatikan dengan seksama.
“Bukan buat siapa-siapa!”
“Lagian papi ngapain sih ngurusin itu?”
“Jadi kamu yang menulis ya?” tanya papi penasaran.
“Bukan!”
“tapi kelihatannya kamu tau siapa yang menulis ini,”
Nasha diam saja
“Bisa kasih tau papi?” papi merogoh saku celana untuk
mengambil sesuatu didalamnya. Ternyata sebuah lipstick merk vivele yang
diimport dari negara tetangga sebelah dan pandanginya bolak-balik di depan
Nasha.
Nasha melirik, sikapnya seperti tidak tertarik dengan
apa yang ada ditangan papi tapi ada seberkas percik cahaya kesenangan dimatanya
yang berwarna coklat muda. Semakin lama melihat lipstik itu semakin penasaran
Nasha dibuatnya.
“Kasih tau dulu siapa yang menulis pesan di kertas dan
lipstik ini buatmu,” tawar papi sambil mengacungkan lipstik yang masih terbungkus
plastik transparan.
“Itu Andre yang menulisnya,” Nasha tidak dapat menahan
diri untuk tidak merebut lipstik dari tangan papi
“Siapa Andre?” tanya papi
“Dia anak yang jarang berbicara, kerjanya hanya
tidur!,”
“Lalu untuk apa dia menulis pesan ini,”
“Mana aku tau! tanya saja sama orangnya sendiri,”
jawab Nasha acuh tak acuh tapi merasa senang mendapatkan lipstik kesukaannya.
“Kamu Lani ya?” selidik papi
“Iya,” tanpa sedikitpun menoleh kearah papi, mulai
mencari cermin yang ada didalam tasnya.
“Papi bisa bicara dengan Andre?”
“Kan aku sudah bilang dia itu tukang tidur, ya lagi
tidurlah dia sekarang!”
“Sebentar saja, bisa ya?” papi tidak akan menyerah
begitu saja.
“Lebih baik jangan,” wajah Nasha terlihat serius
memandang papi.
“Kenapa?” tanya papi penasaran
“tidak perlu membangunkannya. Dia pernah bilang ingin
membunuh Nasha. Aku juga tidak suka Nasha tapi tidak perlu sampai segitunya
juga,”
“Jadi apakah pesan itu memang untuk Nasha?” wajah papi
tampak serius berkali-kali lipat.
“Mungkin,” sikapnya kembali acuh sambil memerahkan
bibir tipisnya dengan lipstik baru pemberian papi eh.. hasil rebut dari papi.
“Tapi kalau Nasha mati, kamu juga akan mati Lani,”
Tampaknya Lani sedikit terkejut dengan apa yang
diucapkan papi. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahkan Andre akan berani
berbuat seperti itu. Lani berpikir Andre hanya membual. Nasha melihat kearah papi
mencari kebenaran dari ucapan yang di lontarkan itu.
“Berarti aku harus membunuhnya lebih dahulu sebelum dia
membunuhku,”
Tetiba music berhenti dan tubuh Nasha terduduk lemah
di sofa.
“Papi, sudahkah mengetahui siapa yang menulis pesan
itu?” tanya Nasha
“Hem..” papi mengangguk pelan.
“Benarkah? Siapa pi?”
“Andre,” jawab papi singkat
“Andre? Siapa itu?”
“pemuda yang senangnya tidur dan ingin membunuhmu,”
jawab papi dan menyerahkan kepada Nasha keputusan apa yang akan diambil dalam
kasus pesan itu.
“Hahaha..” Nasha tertawa meski tanpa ada pelawak yang
sedang membawa lawakannya. Nasha merasa lucu.
“Kenapa?” tanya papi
“Papi, dia itu tukang tidur, apa yang bisa dilakukan
oleh orang malas dan tiada guna itu. Untuk melakukan sesuatu atas dirinya saja
malas apalagi untuk orang lain. Membunuh? Itu hanya bualannya saja. Aku tidak
percaya!” jawab Nasha percaya diri.
Papi sudah sejak dua tahun lalu
menangani kasus ini, Nasha dan Lani dua karakter yang berbeda bahkan bertolak
belakang. Nasha tidak banyak bergerak. Sikapnya selalu penuh misteri apa yang
dilihat darinya bukanlah sikap yang sebenarnya. Dia tersenyum padahal menangis
dalam hatinya. Tertutup dan tidak mudah bergaul dengan orang lain.
Lain lagi dengan Lani yang
mengekspresikan apa yang sedang dirasakannya. Orangnya banyak bergerak. Agak
acuh tapi mengawasi dengan baik. Dia mungkin tidak suka keramaian tapi minimal
dia dapat bercakap-cakap dengan orang baru dikenalnya.
Hari ini baru Papi, psikiater yang
menangani Nasha menemukan identitas lain dari dirinya yakni “Andre” pemuda
tanggung yang senang tidur di setiap kesempatan dan ingin membunuh Nasha.
Benak Papi dipenuhi dengan berbagai
pikiran. Apakah karakter Andre baru tercipta atau sudah lama ada. Apakah benar
dia bisa membahayakan Nasha? Tidak ada yang mengetahuinya Bahkan Nasha sendiri. Adalah Nasha seorang gadis dengan DID.
#Dissociative
Identity Disorder